gravatar

POLEMIK PEMENUHAN AMANAT UNDANG-UNDANG DASAR: Analisis Klaim Pemerintah atas Pemenuhan Anggaran Pendidikan Sebesar 20% dari APBN



       A.    Prawacana
Ekonomi berasal dari bahasa Yunani, oikos dan nomos. οκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos) yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga".[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi diartikan sebagai (1) ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (spt hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan); (2) pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dsb yg berharga; (3) tata kehidupan perekonomian (suatu negara).[2]
Ekonomi adalah salah satu elan vital yang cukup menentukan dalam dunia pendidikan, tanpa ekonomi yang memadai, pembelajaran tidak akan bisa berjalan dengan baik dan lancar. Sekolah yang roboh, tidak tersedianya cukup alat peraga ataupun fasilitas pendukung yang lain adalah contoh faktor yang memengaruhi intensitas proses belajar dan kesemuanya terkait dengan ekonomi.[3] Ekonomi selalu terkait dengan uang dan anggaran, sehingga jika kita ingin melihat keseriusan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita luhur “mencerdaskan kehidupan bangsa”, kita dapat melihat prosentase anggaran negara yang diprioritaskan untuk penyelenggaraan pendidikan.
Sejak diamandemen, UUD 1945 mengamanatkan pada pemerintah untuk menganggarkan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penyelenggaraan pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam UU Sisdiknas, pemerintah mendapatkan panduan bahwa 20% dana pendidikan bukanlah termasuk gaji pendidik.
Sampai medio 2008 akhir, pemerintah masih belum memenuhi proporsi 20% tersebut. Berbagai kritik, saran, bahkan sampai gugatan ke Mahkamah Konstitusi muncul akibat dari tidak terpenuhinya angka 20%. Bahkan dari sisi hukum, ketidakmampuan pemerintah ini akan menimbulkan kontradiksi yang “parah”. Kenapa? Pengesahan APBN sendiri merupakan sebuah undang-undang. sementara jika UU bertentangan dengan UUD 1945, tentu UU tersebut batal dengan sendirinya. Akhirnya setelah melalui berbagai desakan, kritik, serta dengan putusan dan saran dari Mahkamah Konstitusi, pada tahun 2009 peme-rintah “dengan bangga” bisa memenuhi amanat tersebut.
Selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Bahkan hingga penghujung tahun 2012 masih muncul suara miring mengenai pemenuhan tersebut. Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan dalam mengritik langkah pemerintah yang memasukkan komponen gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dalam proporsi tersebut.
Dalam diskusi internal pemakalah mengenai fenomena ini, muncul beberapa pertanyaan; (1) apakah memang opini yang muncul bahwa pemerintah memasukkan gaji pendidik dalam proporsi 20% itu benar?, (2) kenapa muncul opini seolah pemerintah “mengakali” amanat UUD 1945 mengenai 20% APBN untuk pendidikan?. Makalah ini akan menjawab kedua pertanyaan tersebut.
B.     Sekilas tentang 20% APBN untuk Pendidikan
Tujuan pendidikan dirumuskan oleh beberapa ahli sebagai sebuah pola pembentukan seseorang menjadi manusia seutuhnya. Paolo Freire misalnya, merumuskan tujuan pendidikan adalah untuk mengembalikan kemanusiaan yang hilang,[4] J.J. Rousseae mendefinisikan tujuan pendidikan sebagai self realization atau penonjolan diri pribadi.[5] Di dalam negeri, kita mengenal Ki Hajar Dewantoro yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah kesempurnaan hidup manusia sehingga dapat memenuhi segala keperluan lahir dan batin yang kita peroleh dari kodrat alam.[6]
Bangsa Indonesia merumuskan tujuan pendidikannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat jelas, terlihat dari Pembukaan UUD 1945 yang -antara lain- berbunyi: “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa” ini bisa ditempuh dengan berbagai cara, salah satunya melalui bidang pendidikan. Inilah kenapa Pasal 31 UUD Tahun 1945 ayat (4) berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, yang berarti demi proses “pencerdasan” tersebut, pemerintah harus rela 20% anggarannya masuk dalam bidang pendidikan.
Kenapa lewat pendidikan? Sebab tanpa sektor pendidikan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sulit dapat terealisir. Karena pada hakekatnya pendidikanlah yang membentuk manusia agar mencapai kecakapan sosial tertentu, dan bidang pendidikanlah yang cenderung dekat dengan pembentukan sisi afektif, kognitif, dan psikomotorik manusia Indonesia, sehingga dapat dicapai manusia “cerdas” yang dimaksud oleh pembukaan UUD 1945. Untuk melaksanakan “pencerdasan” tersebut via sektor pendidikan, dibutuhkan anggaran yang cukup besar. Oleh sebab itu kewajiban adanya anggaran pendidikan yang memadai dalam APBN dan APBD oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu bentuk implementasi guna terwujudnya tujuan bernegara tersebut. Inilah kenapa muncul amanat “sekurang-kurangnya dua puluh persen”.
Penjelasan angka dua puluh persen dijabarkan dalam Pasal 49 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam ayat (1): “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Dari paparan di atas terlihat bahwa pemerintah memiliki kewajiban: (1) membiayai pendidikan dasar dan (2) mengalokasikan 20% APBN dan APBD untuk membiayai pendidikan. Catatan yang perlu ditekankan adalah angka 20% yang dimaksud adalah “selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan”.


[1] wikipedia.com
[2]  Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasio-nal, 2008)
[3] Made Pidarta. Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta. 1997)
[4] Listyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003) h.125-145
[5] Djumberansjah IndarFilsafat Pendidikan. (Surabaya: Karya Abditama. 1994) h.42-60.
[6] Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka. (Yogyakarta: Leutika, 2009)

Archive

Entri Populer