
Lanjutan BAB II Tesis Kualitatif
Sekolah
Standar Nasional
Standar Pendidik dan Tenaga Pendidikan
Penjelasan PP No. 19
Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah mengkategorikan
sekolah/madrasah yang telah atau hampir memenuhi standar nasional ke dalam
kategori mandiri. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa sekolah kategori
mandiri (SKM) harus menerapkan sistem kredit semester (SKS). SKS adalah salah
satu sistem penerapan program pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai
subyek. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik
belajar. Peserta didik diberi kebebasan untuk merencanakan kegiatan belajarnya
sesuai dengan minat, kemampuan, dan harapan masing-masing (Chandramohan, 2006).
Permendiknas Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa sistem kredit semester adalah
sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan
sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada
satuan pendidikan. Mengacu pada konsep tersebut, SKS dapat diterapkan untuk
menunjang realisasi konsep belajar tuntas yang digunakan dalam menerapkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada Sistem Kredit Semester, setiap
satu satuan kredit semester (1 SKS) berbobot dua jam kegiatan pembelajaran per
minggu selama 16 minggu per semester. Pada SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk
lain yang sederajat, satu jam kegiatan tatap muka berlangsung selama 45 menit,
sedangkan 25 menit kegiatan terstruktur dan 25 menit kegiatan mandiri. Dengan
demikian, penerapan SKS pada KTSP perlu dilakukan penyesuaian dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas di mana satuan kegiatan belajar
peserta didik tidak diukur berdasarkan lama waktu kegiatan per minggu-semester
tetapi pada satuan (unit) kompetensi yang dicapai.
Berdasarkan penjelasan
PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri Sekolah Kategori
Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional
pendidikan dan mampu menjalankan sistem kredit semester.
Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki profil sebagai persyaratan minimal yang meliputi :
Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki profil sebagai persyaratan minimal yang meliputi :
1. Dukungan Internal:
- Kinerja Sekolah indikator terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir minimum 7,00, persentase kelulusan UN ≥ 90 % untuk tiga tahun terakhir, animo tiga tahun terakhir > daya tampung, prestasi akademik dan non akademik yang diraih, melaksanakan manajemen berbasis sekolah, jumlah siswa per kelas maksimal 32 orang, ada pertemuan rutin pimpinan dengan guru, ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua.
- Kurikulum, dengan indikator memiliki kurikulum Sekolah Kategori Mandiri, beban studi dinyatakan dengan satuan kredit semester, mata pelajaran yang ditawarkan ada yang wajib dan pilihan, panduan/dokumen penyelenggaraan, memiliki pedoman pembelajaran, memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi dan minat, memiliki panduan menjajagi potensi peserta didik dan memiliki pedoman penilaian.
- Kesiapan sekolah, dengan indikator Sekolah menyatakan bersedia melaksanakan Sistem Kredit Semester, Persentase guru yang menyatakan ingin melaksanakan SKS ≥ 90%, Pernyataan staf administrasi akademik bersedia melaksanakan SKS, Kemampuan staf administrasi akademik dalam menggunakan komputer.
- Sumber Daya Manusia, dengan indikator persentase guru memenuhi kualifikasi akademik ≥ 75%, relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan (90 %), rasio guru dan siswa, jumlah tenaga administrasi akademik memadai, tersedia guru bimbingan konseling/ karir. (e) Fasilitas di sekolah, dengan indiktor memiliki ruang kepala Sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang bimbingan, ruang Unit Kesehatan, tempat Olah Raga, tempat ibadah, lapangan bermain, komputer untuk administrasi, memiliki laboratorium: Bahasa, Teknologi informasi/komputer, Fisika, Kimia, Biologi, Multimedia, IPS, Perpustakaan yang memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran, memberikan Layananan bimbingan karir
2.
Dukungan Eksternal
Untuk menyelenggarakan SKM/SSN berasal
dari dukungan komite sekolah, orang tua peserta didik, dukungan dari Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, dukungan dari tenaga pendamping pelaksanaan SKS.
Standar Pendidik dan Tenaga Pendidikan
Standar Pendidik dan
Tenaga Kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik
maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan (UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal
13, dan PP 19 Pasal 1, ayat 7). Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Sedangkan, tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan (UU No. 20 Tahun 2003
Bab I, Pasal 1 ayat 5 dan ayat 6).
Tenaga kependidikan
bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan
pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan (UU
No. 20 Tahun 2003, Bab XI, Pasal 39, ayat 1). Tenaga kependidikan meliputi
pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti,
pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar (UU No. 20 Tahun 2003,
Penjelasan Pasal 39, ayat 1).
Lingkup Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan mencakup: kriteria pendidikan prajabatan,
kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidikan
prajabatan adalah pendidikan formal untuk mempersiapkan calon pendidik dan
tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan yang terakreditasi, sesuai dengan
perundang-undangan. Kelayakan fisik dan mental pendidik dan tenaga kependidikan
adalah kondisi fisk dan mental pendidik dan tenaga kependidikan yang tidak
mengganggu pembelajaran dan pelayanan pendidikan. Adapun, Pendidikan dalam
jabatan adalah pendidikan dan pelatihan yang diperoleh pendidik dan tenaga kependidikan
selama menjalankan tugas untuk meningkatkan kualifikasi akademik dan/atau
kompetensi akademiknya.
Di dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional melalui pendidikan profesi.
Pendidik harus
memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rokhani, serta memilki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus
dipenuhi oleh seorang pendidik dari perguruan tinggi terakreditasi yang
dibuktikan dengan ijazah dan/ atau sertifikasi keahlian yang relevan dengan
jenis, jenjang, dan satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh
pendidik dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini. Seperti
halnya yang tertuang dalam UU Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah
tentang Standar Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28,
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial.
1.
Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru
terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi
indikator esensial sebagai berikut.
a) Memahami peserta didik secara mendalam memiliki
indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip
perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi
bekal-ajar awal peserta didik.
b) Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan
pendidikan untuk kepentingan pembelajaran memiliki indikator esensial: memahami
landasan kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan
strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang
ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran
berdasarkan strategi yang dipilih.
c) Melaksanakan pembelajaran memiliki indikator
esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan
pembelajaran yang kondusif.
d) Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran
memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment)
proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode;
menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat
ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian
pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
e) Mengembangkan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensinya, memiliki indikator esensial:
memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan
memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi nonakademik.
2.
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan
personal yang mencerminkan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut.
a) Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki
indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak sesuai
dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi dalam
bertindak sesuai dengan norma.
b) Kepribadian yang dewasa memiliki indikator
esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki
etos kerja sebagai guru.
c) Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial:
menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah,
dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
d) Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator
esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan
memiliki perilaku yang disegani.
e) Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki
indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan taqwa,
jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta
didik.
3.
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orangtua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai
berikut.
a) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif
dengan peserta didik.
b) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
c) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
4.
Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi
materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Setiap
subkompetensi tersebut memiliki indikator esensial sebagai berikut.
a) Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan
bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam
kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi
atau koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antarmata pelajaran
terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
b) Menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki
indikator esensial menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk
memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
Keempat
kompetensi tersebut dalam praktiknya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Pemilahan menjadi empat ini, semata-mata untuk kemudahan memahaminya. Beberapa
ahli mengatakan istilah kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”,
karena telah mencakup semua kompetensi lainnya. Sedangkan penguasaan materi
ajar secara luas dan mendalam lebih tepat disebut dengan penguasaan sumber
bahan ajar (disciplinary content) atau sering disebut bidang studi
keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang menyebutkan bahwa sebagai guru yang
berkompeten memiliki (1) pemahaman terhadap karakteristik peserta didik, (2)
penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan
maupun kependidikan, (3) kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang
mendidik, dan (4) kemauan dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan
kepribadian secara berkelanjutan.
Ketika seorang guru memenuhi kriteria
kompetensi guru yang disyaratkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah
tersebut kemudian lulus dalam uji kompetensi, maka dapat dikatakan guru
tersebut merupakan guru profesional. Sedangkan menurut Kusnandar (2007: 55)
pengertian kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus
ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif.
Kompetensi guru tersebut meliputi: Pertama,
kompetensi intelektual, yaitu berbagai perangkat pengetahuan yang ada dalam
diri individu yang diperlukan untuk menunjang berbagai aspek kinerja sebagi
guru. Kedua, kompetensi fisik, yaitu
perangkat kemampuan fisik yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas
sebagai guru dalam berbagai situasi. Ketiga,
kompetensi pribadi, yaitu perangkat perilaku yang berkaitan dengan kemampuan
individu dalam mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan
transformsi diri, identitas diri, dan pemahaman diri. Kompetensi pribadi meliputi
kemampuan-kemamuan dalam memahami diri, mengelola diri, mengendalikan diri, dan
menghargai diri. Keempat, kompetensi
sosial, yaitu perangkat perilaku tertentu yang merupakan dasar dar pemahaman
diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari laingkungan sosial serta
tercapainya interaksi sosial secara efektif. Kompetensi sosial meliputi
kemmpuan interaksi, dan pemecahan masalah kehidupan sosial. Kelima, kompetensi spiritual, yaitu
pemahaman, penghayatan, serta pengamatan kaidah-kaidah keagamaan.
Pada konteks pendidikan Islam, Ngainun Naim (2009: 61),
menambahkan setidaknya tiga kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu:
a)
Kompetensi personal-religius, yaitu
memiliki kepribadian berdasarkan Islam. Di dalamnya melekat nilai-nilai yang
dapat ditransinternalisasikan kepada peserta didik, seperti jujur, adil, suka
musyawarah, disiplin, dll.
b)
Kompetensi sosial-religus, yaitu
memiliki kepedulian terhadap persoalan-persoalan sosial yang selaras dengan
ajaran Islam. Sikap gotong royong, suka menolong, egalitarian, toleransi, dan
sebagainya merupakan sikap yang harus dimiliki pendidik yang dapat diwujudkan
dalam proses pendidikan.
c)
Kompetensi profesional-religius, yaitu
memiliki kemampuan menjalankan tugasnya secara profesional, yang didasarkan
atas ajaran Islam.
Kompetensi pendidik
sangatlah erat kaitannya dengan profesionalisme pendidik. Secara harfiah,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ”profesional”
berarti bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya, dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan
amatir). Sementara kata ”profesionalisme” berarti mutu, kualitas, dan tindak
tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Oleh
karenanya, guru profesional dapat diartikan sebagai sebuah profesi (guru) yang
memiliki kepandaian, keahlian, dan kompetensi khusus untuk menjalankan
profesinya. Dengan arti lain, seorang guru yang memiliki profesionalisme dalam
kerjanya merupakan seorang guru yang memiliki kualitas, mutu, dan tindak tanduk
(akhlak) yang menunjukkan seorang guru yang profesional.
Profesionalisme juga berarti
mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang
yang profesional. Menurut Burhanudin
Salam (dalam Rahman, 2007), profesionalisme
adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok yang
menghasilkan nafkah hidup dan menghendaki suatu keahlian dengan ciri-ciri
sebagai berikut.
a.
Adanya pengetahuan khusus;
b.
Adanya kaidah atau standar moral yang
tinggi;
c.
Mengabdi kepada kepentingan masyarakat;
d.
Ada izin khusus untuk melaksanakan suatu
profesi; dan
e.
Biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi
profesi.
DR.
Ahmad Tafsir (dalam Rahman, 2007) mendefinisikan “profesionalisme” sebagai
paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang
profesional. Orang yang profesional
ialah orang yang memiliki profesi.
Menurut Muchtar Luthfi (dalam Rahman, 2007) seseorang disebut memiliki
profesi bila ia memenuhi delapan kriteria sebagai berikut;
a.
Profesi harus mengandung keahlian, artinya
suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi
itu. Keahlian itu diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus;
b.
Profesi dipilih karena panggilan hidup
dan dijalani sepenuh waktu. Profesi itu dipilih karena dirasakan sebagai
kewajiban, sepenuh waktu maksudnya bukan part-time;
c.
Profesi memiliki teori-teori yang baku
secara universal, artinya profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas,
dikenal umum, dan teorinya terbuka. Secara universal pegangan itu diakui;
d.
Profesi adalah untuk masyarakat, bukan
untuk diri sendiri;
e.
Profesi harus dilengkapi dengan
kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu
diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya;
f.
Pemegang profesi memiliki otonomi dalam
melaksanakan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh
rekan-rekannya seprofesi;
g.
Profesi mempunyai kode etik, yang
disebut dengan kode etik profesi, dan
h.
Profesi harus mempunyai klien yang
jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.
Sementara
itu, Finn (dalam Rahman, 2007)
menambahkan dua hal, yaitu pertama, bahwa suatu profesi
memerlukan organisasi profesi yang kuat, gunanya untuk memperkuat dan
mempertajam profesi itu. Kedua, suatu profesi harus mengenali dengan
jelas hubungannya dengan profesi lain. Pengenalan ini terutamadiperlukan karena
ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi. Haidar Putra
Daulay (dalam Rahman, 2007), menyebutkan ciri profesi itu adalah (1) memiliki
keahlian di bidang tersebut (2) menggunakan waktunya untuk bekerja dalam bidang
tersebut, (3) hidup dari pekerjaan tersebut, dan (4) pekerjaan itu bukan
sebagai hobi.
Made Pidarta (2007:
279) mengemukakan ciri-ciri profesi adalah sebagai berikut.
a.
Pilihan terhadap jabatan didasari oleh
motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan
b.
Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan
keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan terus berkembang
c.
Ilmu, pengetahuan, dan keterampilan
khusus tersebut diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama di perguruan
tinggi
d.
Mempunyai otonomi dalam bertindak ketika
melayani klien (peserta didik)
e.
Mengabdi kepada masyarakat atau
berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan
finansial
f.
Tidak mengadvertensikan keahliannya
untuk mendapatkan klien (peserta didik)
g.
Menjadi anggota organisasi profesi
h.
Organisasi profesi tersebut menentukan
persyaratkan penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi
perilaku anggota, memberi sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota
i.
Memiliki kode etik profesi
j.
Mempunyai kekuatan dan status yang
tinggi sebagai eksper yang diakui masyarakat
k.
Berhak mendapatkan imbalan yang layak.
Dalam konteks guru
sebagai profesi, maka selayaknya butir-butir tersebut tersemat pada para guru.
Walhasil, predikat pendidik atau guru tidak mungkin dikenakan kepada sembarang
orang. Hanya orang-orang yang sudah belajar banyak tentang pendidikan dan sudah
terlatih yang memang mampu melaksanakannya. Oleh karena itu, pekerjaan guru
memang harus profesional.
Sebagai pengajar dan
pendidik, guru selayaknya menyadari tentang hakikat seorang pendidik dan
peserta didik yang dididiknya. Pendidik (guru) hakikatnya adalah makhluk Tuhan
Yang Maha Esa yang diberikan tugas atau tanggung jawab untuk mengembangkan potensi
akal dan budi seorang anak manusia (peserta didik). Sementara peserta didik,
hakikatnya adalah manusia yang berhak untuk tumbuh dan berkembang menjadi
makhluk Tuhan yang dibekali dengan berbagai kecakapan dan keterampilan baik
secara lahiriah maupun batiniah melalui proses pendidikan.
Dalam rangka mewujudkan
proses pendidikan tersebut, perlu diketahui tentang arti mendidik sehingga
peserta didik dapat berkembang sempurna secara batiniah maupun lahiriah. Mengutip
pendapat Made Pidarta (2007:281), mendidik diartikan sebagai berikut.
Mendidik adalah membuatkan kesempatan dan
menciptakan situasi yang kondusif agar anak-anak sebagai subyek berkembang
sendiri. Mendidik adalah suatu upaya membuat anak-anak mau dan dapat belajar
atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan
potensi-potensi lainnya secara optimal. Berarti mendidik memusatkan diri pada
upaya pengembangan kognisi dan keterampilannya. Berkembangnya afeksi yang
positif terhadap belajar, merupakan kunci keberhasilan belajar berikutnya,
termasuk keberhasilan dalam meraih prestasi kognisi dan keterampilan.
Bagi guru, hal ini
merupakan tanggung jawab yang tidaklah mudah. Seorang guru harus berani terus
belajar sepanjang hayatnya dan juga berani untuk melakukan refleksi atas segala
kekurangan dalam mengemban amanah tersebut. Oleh karena itu, tidak selayaknya
seorang guru kurang bertanggung jawab dalam melaksanakan amanah yang tidak
ringan tersebut. Perlu komitmen dalam hati untuk menjadi guru yang benar-benar
mengajar dan mendidik para murid-muridnya sehingga menjadi manusia yang
sesungguhnya (memanusiakan manusia). Inilah sebenarnya makna profesionalisme
guru yang sesungguhnya.
Meskipun begitu,
beberapa pendapat tentang profesionalisme guru dapat ditinjau dari pelbagai
sudut pandang. Untuk dikatakan unggul dan profesional, guru harus mengembangkan
kompetensi individunya dan tidak bergantung pada orang lain. Isjoni (2009:39)
menyatakan bahwa konsep dasar profesi guru dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang. Pertama, sebagai profesi, jabatan guru hendaknya dipersyaratkan
pada keahlian khusus yang harus dipersiapkan melalui pendidikan keahlian atau
spesialisasi di bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu, haruslah memiliki
kemampuan untuk terus meningkatkan keterampilannya dan didukung oleh
penghasilan memadai. Kedua, dasar filosofis profesi guru menyatakan
bahwa budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur sebagaimana
tecermin dalam diri guru melalui keteladanan yang layak digugu dan ditiru.
Ketiga, dasar historis profesi guru yang menempatkan pekerjaan guru
merupakan profesi yang sangat tua usianya di dunia. Keempat, dasar
sosiologis profesi guru menyebutkan bahwa profesi guru merupakan pekerjaan
pemersatu bangsa dan negara, melalui pemberian pemahaman nilai-nilai ketunggalan
dalam kebhinekaan pada peserta didik dan anak bangsa yang dipersiapkan menjadi
pemimpin masyarakat, bangsa, dan negara pada semua bidang kehidupan. Kelima,
dasar yuridis profesi guru yang akhirnya ditetapkan melalui undang-undang
tentang keberadaan profesi guru. Dengan demikian, guru harus mengerti bahwa
mereka memiliki kompetensi dalam profesinya yang tidak dimiliki oleh kelompok
profesi lainnya.
Sudarwin
Danim (dalam Jumali, dkk., 2008:71) mengemukakan dalam pelaksanaan peningkatan
profesionalisme tenaga kependidikan dapat ditempuh melalui tiga pendekatan
yaitu pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan
legalistik.
Pendekatan
karakteristik menyatakan bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang
membedakan dengan elemen lainnya dan elemen tersebut tecermin dalam kehidupan
seseorang. Karakteristik profesional ditandai dengan:
a.
Kemampuan intelektual yang didapat
melalui pendidikan
b.
Memiliki kemampuan spesial dalam bidang
keahliannya atau memiliki pengusaan metodologinya
c.
Memiliki pengetahuan yang dapat
digunakan langsung oleh orang lain
d.
Memiliki teknik kerja yang dapat
dikomunikasikan
e.
Memiliki kapasitas dalam
mengorganisasikan kerja secara mandiri
f.
Mementingkan kepentingan orang lain
g.
Memiliki kode etik
h.
Memiliki sanksi dan tanggung jawab
komunitas
i.
Mempunyai sistem upah
j.
Mempunyai budaya profesional yang dapat
berupa penggunaan simbol-simbol.
Pendekatan
institusional menyatakan bahwa profesional merupakan proses pengembangan yang
bersifat asosional yaitu proses yang bertahap yang harus ditempuh dan dilalui
agar menjadi profesional. Akibatnya, suatu pekerjaan akan menjadi profesional
jika mengikuti tahapan berikut.
a.
Melahirkan suatu pekerjaan yang penuh
waktu bukan sambilan
b.
Menetapkan sekolah sebagai tempat
menjalani proses pendidikan
c.
Menetapkan asosiasi profesi
d.
Melakukan agitasi secara politis untuk
memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan
e.
Mengadopsi secara formal kode etik yang
ditetapkan
Pendekatan legalistik memandang bahwa
suatu pekerjaan dikatakan profesional jika diakui oleh negara atau pemerintah
dengan dilindungi Undang-Undang. Oleh karena itu, proses pengakuan tersebut
dapat melalui tiga tahapan, yaitu:
a.
Registrasi, yaitu proses pencatatan
pekerjaan pada kantor pemerintahan
b.
Sertifikasi, yaitu pengakuan atas
kemampuan yang terkualifikasi baik dengan pengakuan oleh lembaga pemerintah
maupun masyarakat
c.
Lisensi, yaitu pernyataan izin atas
dasar pengakuan yang telah diberikan oleh pihak lain karena adanya sertifikat
yang diterimanya.
Berdasarkan
beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa guru dapat dikatakan
sebagai pekerjaan yang profesional jika memenuhi beberapa kriteria tertentu,
baik akademik, institusional, legalitas, kepribadian, dan sosial.
Standar Sarana dan Prasarana
Standar sarana dan
prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria
minimum tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah,
perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan
berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Standar
sarana dan prasarana mencakup: (1) pengadaan satuan pendidikan, (2) kelengkapan
prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan gedung, ruang-ruang, dan instalasi
daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap satuan pendidikan, dan (3)
kelengkapan sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media
pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan
komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap satuan
pendidikan. Standar sarana dan prasarana ini disusun untuk lingkup pendidikan
formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu:
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
Pasal 42 PP Nomor 19
Tahun 2005, Bab VII tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan, menyatakan
: (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan
habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, dan (2) Setiap satuan pendidikan
wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan
satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium,
ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan
jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi,
dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan.
Selanjutnya, dalam pasal
43, dijelaskan: (1) Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu
pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan
peralatan pembelajaran lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar yang
berisi jenis minimal peralatan yang harus tersedia. (2) Standar jumlah
peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rasio minimal
jumlah peralatan per peserta didik. (3) Standar buku perpustakaan dinyatakan
dalam jumlah judul dan jenis buku di perpustakaan satuan pendidikan. (4)
Standar jumlah buku teks pelajaran di perpustakaan dinyatakan dalam rasio
minimal jumlah buku teks pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di
perpustakaan satuan pendidikan untuk setiap peserta didik. (5) Kelayakan isi,
bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (6) Standar sumber belajar lainnya untuk
setiap satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio jumlah sumber belajar terhadap
peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar dan karakteristik satuan pendidikan.
Penjelasan lebih
lanjut mengenai lahan sekolah, dituangkan pada pasal 44, yaitu: (1) Lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) untuk bangunan satuan pendidikan,
lahan praktek, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan untuk menjadikan
satuan pendidikan suatu lingkungan yang secara ekologis nyaman dan sehat. (2)
Standar lahan satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio luas lahan per peserta
didik. (3) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan letak lahan satuan
pendidikan di dalam klaster satuan pendidikan sejenis dan sejenjang, serta
letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan pendidikan yang menjadi
pengumpan masukan peserta didik. (4) Standar letak lahan satuan pendidikan
mempertimbangkan jarak tempuh maksimal yang harus dilalui oleh peserta didik
untuk menjangkau satuan pendidikan tersebut. (5) Standar letak lahan satuan
pendidikan mempertimbangkan keamanan,
kenyamanan, dan kesehatan lingkungan.
Dalam pasal 45,
dijelaskan tentang rasion ruang kelas dengan jumlah siswa, yaitu: (1) Standar rasio luas ruang kelas per
peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Standar rasio luas bangunan per
peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (3)
Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan dasar dan
menengah adalah kelas B. (4) Standar kualitas
bangunan minimal pada satuan pendidikan tinggi adalah kelas A. (5) Pada daerah
rawan gempa bumi atau tanahnya labil, bangunan satuan pendidikan harus memenuhi
ketentuan standar bangunan tahan gempa. (6) Standar kualitas bangunan satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), dan (5) mengacu pada
ketetapan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
Satuan pendidikan
juga harus menyediakan akses bagi peserta didik yang memerlukan layanan khusus,
apabila mereka menerimanya sebagai peserta didik. Hal ini diuraikan dalam pasal
46, sebagai berikut: (1) Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik,
pendidik, dan/atau tenaga kependidikan yang memerlukan layanan khusus wajib menyediakan
akses ke sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. (2) Kriteria
penyediaan akses sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Sarana dan prasarana yang telah tersedia di sekolah harus mampu
dipelihara dan dijaga sebagaimana tercantum dalam pasal 47 yaitu (1) Pemeliharaan sarana dan prasarana
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 menjadi tanggung
jawab satuan pendidikan yang bersangkutan. (2) Pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan berkesinambungan dengan memperhatikan
masa pakai. (3) Pengaturan tentang masa pakai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.