
BAB II Tesis Kualitatif
KAJIAN TEORI
A.
Pembelajaran Matematika
Belajar merupakan proses yang dapat menyebabkan perubahan tingkah laku yang
disebabkan adanya reaksi terhadap situasi tertentu atau adanya proses internal
yang terjadi dalam diri seseorang dan interaksinya dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto
(1987:2): “Belajar merupakan proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungannya.” Sedangkan Abdurrahman
(1999:28) menyatakan: “Belajar merupakan suatu proses dari seorang individu
yang berupaya mencapai tujuan belajar atau hasil belajar, yaitu suatu bentuk
perubahan perilaku yang relatif menetap.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil
pengertian bahwa Belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu
dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut
aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu. Pembelajaran
harus mempunyai tujuan yang jelas untuk memberikan arah dan menuntun siswa
dalam mencapai prestasi yang diharapkan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman (1990:25): “Tujuan belajar ada
tiga jenis, yaitu:
a) Untuk mendapatkan pengetahuan, b) Penanaman konsep keterampilan baru, c) Pembentukan sikap.” Jadi pada intinya, tujuan belajar adalah
ingin mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan penanaman sikap mental atau
nilai-nilai.
Matematika merupakan disiplin ilmu yang meliputi fakta, konsep, operasi
atau relasi dan prinsip. Menurut
pendapat Soedjadi (2000:11) terdapat beberapa definisi tentang matematika
yaitu:
“1. Matematika
adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir
secara sistematik.
2.
Matematika adalah
pengetahun tentang bilangan dan kalkulasi.
3.
Matematika adalah
pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.
4.
Matematika adalah
pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan
bentuk.
5.
Matematika adalah
pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
6.
Matematika
adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat”.
Matematika memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan disiplin
ilmu yang lain. Soedjadi (2000:13) mengemukakan karakteristik matematika,
yakni (1) memiliki objek kajian abstrak,
(2) bertumpu pada kesepakatan,
(3) Berpola pikir deduktif,
(4) memiliki simbol yang kosong dari
arti,
(5) memperhatikan semesta
pembicaraan, (6) konsisten
dalam sistemnya.
Pemahaman akan karakteristik-karakteristik matematika dapat membantu siswa
dalam mempelajari matematika yang sedang dipelajari. Pemahaman ini dimaksudkan untuk mencapai
tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan. Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran
(GBPP) matematika, tujuan pengajaran matematika di sekolah menengah atas (dalam
Soedjadi, 2000:42) adalah (1) memiliki kemampuan yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika (2) memiliki pengetahuan matematika sebagai peningkatan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan
lebih tinggi, (3) memiliki
keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari matematika
sekolah tingkat menengah dan untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
(4) mempunyai pandangan yang cukup
luas dan memiliki sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin.
Dari uraian di atas, belajar matematika di sekolah
dimaksudkan untuk melatih penalaran dan logika berpikir para siswa, sehingga
siswa memiliki pola pikir yang sistematis, rasional, logis, kritis, kreatif
dan inovatif dalam kehidupan sehari-hari.
B. Implementasi Kebijakan
Menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
dalam Solichin Abdul Wahab (1991 : 54), implementasi adalah pelaksanaan
keputusan kebijakan dasar, biasanya
keputusan tersebut berbentuk undang-undang namun bisa juga berupa
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting ataupun
keputusan badan peradilan, dimana
pada umumnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, tujuan
yang dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya.
Van Meter dan Van Horn dalam
Solichin Abdul Wahab (1991:51) merumuskan definisi implementasi kebijaksanaan
negara sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Hessel Nogi
S. Tangkilisan (2003: 19) menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan tidak
hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertangung jawab untuk
melaksanakan program tapi juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik,
ekonomi dan soial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku
dari semua pihak yang terlibat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan
kebijakan baik yang positif maupun yang negatif.
Proses implementasi
merupakan fase yang sangat penting dalam keseluruhan proses tahap pembuatan
kebijakan. Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (1991:45) mengatakan bahwa
pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih
penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan
sekedar berupa impian atau rencana bagusyang tersimpan rapi dalam arsip kalau
tidak diimplementasikan.
Berdasarkan beberapa
pengertian implementasi diatas, dapat disimpulkan bahwa proses implementasi
kebijakan merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan yang dilakukan oleh stake
holder (individu-individu / pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta) yang
menyangkut perilaku badan administratif, jaringan kekuatan-kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial dalam
rangka pencapaian tujuan yang sesuai dengan keputusan kebijakan.
Proses implementasi tidak
harus selalu didasarkan pada kepentingan pemerintah tetapi bisa pula didasarkan
pada kepentingan stakeholder di luar pemerintah. Ada kecenderungan bahwa
implementasi menuntut dilibatkannya partisipasi masyarakat atau orang-orang
yang terkena kebijakan untuk itu dilibatkan dalam pengambilan keputusan; juga
dalam implementasi tidak menutup kemungkinan dilakukannya diskresi sebagai
suatu tindakan yang mencerminkan kelonggaran dalam melaksanakan hukum, demi
terciptanya keadilan terutama dalam kelompok-kelompok yang belum beruntung;
demikian pula didalam implementasi suatu program ada kecenderungan dituntutnya
tindakan secara network sehingga suatu aktivitas menuntut adanya
praktek-praktek kerjasama baik itu terhadap institusi sejenis, selevel atau
kelompok organisasi yang tidak sejenis baik dalam besaran, keluaran, dan
kapasitas (Sudarmo, 2008).
Dalam governance: proses
implementasi menuntut atau memungkinkan dilibatkannya partisipasi masyarakat,
karena dengan demikian akan terjadi kontrol oleh masyarakat terhadap
pelaksanaan aktivitas kebijakan yang dilakukan yang bisa meminimalisir kerugian
pada pihak masyarakat itu sendiri, sehingga stakeholder penting dalam
proses implementasi. Demikian pula implementasi suatu kebijakan akan berhasil
atau tidak juga dipengaruhi oleh seberapa kuat dan bagaimana jaringan stakeholder
dilakukan. Disamping itu, mengingat proses implementasi sering dilandasi oleh
peraturan perundang-undangan maka dimungkinkan menemui kendala-kendala karena
kekakuan hukum itu ketika diimplementasikan, sehingga agar peraturan tersebut
dapat diimplementasikan dan dengan harapan bisa mencapai sasaran atau tujuan,
maka diskresi sering pula dilakukan (Sudarmo, 2008 ; Hajer dan Wagenar,
2003).