
POLEMIK PEMENUHAN AMANAT UNDANG-UNDANG DASAR: Analisis Klaim Pemerintah atas Pemenuhan Anggaran Pendidikan Sebesar 20% dari APBN
A.
Kenyataan di
Lapangan Pasca-Pemenuhan Amanat UUD oleh Pemerintah
Divisi
Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan peningkatan
anggaran pendidikan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pelayanan
pendidikan nasional. Pasalnya, anggaran pendidikan selama ini lebih banyak
tersedot untuk urusan birokrasi daripada membenahi mutu dan kualitas pendidikan
nasional. Belum tercapainya anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN, seperti
yang diamanatkan UUD 1945, tetap harus dilihat sebagai bentuk pengingkaran pemerintah
terhadap konstitusi.[1]
Besarnya
anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan perluasan akses pendidikan
berkualitas. Sejak tahun 2009, akhirnya Pemerintah memenuhi amanat konstitusi
20% anggaran pendidikan, pasca putusan MK yang memasukan komponen gaji. Pada
APBNP 2009 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp. 208,2 trilyun, kemudian
dalam kurun waktu 4 tahun, anggaran pendidikan direncanakan meningkat 59% atau
Rp 123 trilyun pada RAPBN 2013 menjadi Rp 331,8trilyun. Ironisnya, besarnya
peningkatan anggaran pendidikan ini tidak mampu menyelesaikan persoalan pendidikan
yang masih karut marut.
Data
yang mendukung pernyataan tersebut antara lain: (1) Berdasarkan data
Kemendiknas yang dimuat dalam web resminya menunjukkan bahwa secara nasional
saat ini kita memiliki 899.016 ruang kelas SD dan sebanyak 293.098 (32,6%)
dalam kondisi rusak. Pada tingkat SMP saat ini kita memiliki 298.268 ruang
kelas dan 125.320 (42%) ruang kelas dalam kondisi rusak; (2) Secara umum
kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan. Baru
sekitar 51% berpendidikan S1, dan baru 70,5% guru yang memenuhi syarat
sertifikasi. Survei yang dilakukan oleh Putera Sampoerna Foundation, menunjukkan
54% guru di Indonesia masih berkualitas rendah. Lebih memprihatinkan lagi bahwa
dalam sidang Kabinet terbatas di kantor Kementerian Pendidikan Kebudayaan
terungkap fakta bahwa dari 285 ribu guru yang ikut uji kompetensi, ternyata
42,25% masih di bawah rata-rata; (3) Saat ini angka putus sekolah di Indonesia
tergolong cukup tinggi. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring
yang dirilis UNESCO 2011, Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam
Education Development Index.[2]
B.
Benarkah Pemerintah
Memasukkan Gaji Pendidik?
Benar,
pemerintah memang memasukkan gaji pendidik dalam jatah APBN untuk pendidikan. Jika
diperhatikan, dalam Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke Daerah (sebanyak
186 trilyun (12,16%) pada tahun 2012 dan 212 trilyun (12,85%) pada 2013)
terdapat pos Tunjangan Profesi Guru yakni sebanyak 30,5 trilyun (1,99%) dalam
APBN-P 2012 dan 43,05 trilyun (2,6%) dalam RAPBN 2013. Di samping itu, tercatat pula pos yang mendapat porsi
paling besar dalam Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke Daerah tersebut
yakni Bagian Anggaran Pendidikan yang diperkirakan dalam DAU.[3]
DAU
sendiri adalah kependekan dari Dana Alokasi Umum, dan merupakan dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.[4]
DAU
inilah yang mendapat jatah paling besar dalam Anggaran Pendidikan (sebanyak
7.42% pada 2012 dan 7.72% pada 2013).
Menurut Mendiknas Muhammad Nuh, DAU tersebut digunakan untuk operasional
pendidikan di daerah. Misalnya seperti pembayaran gaji guru PNS yang diangkat
oleh daerah, dan pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG). Ia menambahkan,
alokasi DAU menjadi sangat besar karena pemerintah ingin memastikan semua gaji
guru berikut TPG telah ditanggung oleh pemerintah pusat.[5]
Berarti
ada dua pos yang menjadi tumpuan pemerintah dalam membayar gaji dan tunjangan
profesi guru, yakni DAU dan pos Tunjangan Profesi Guru. Jika ditotal, kedua pos
tersebut menelan hampir 10% dari total APBN. Ini berarti anggaran pendidikan yang
“katanya” 20% jika dikurangi dengan gaji dan tunjangan profesi guru tinggal 10%
saja. Melihat kenyataan ini, sangat dimaklumi jika muncul suara-suara miring mengenai
kemampuan pemerintah memenuhi amanat undang-undang dasar. Banyak pihak yang
menilai bahwa pemenuhan ini adalah “akal-akalan” pemerintah agar “dianggap
mampu” dalam memenuhi amanat UUD dan terlepas dari amanat tersebut.
Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai besarnya anggaran
pendidikan sebagai proyek semata, sekedar bagi-bagi jatah pada berbagai
Kemneterian/Lembaga. Menurut lembaga ini, pada RAPBN 2013, anggaran pendidikan
tersebar di 19 K/L, bagian anggaran 99 dan 8 jenis transfer daerah serta
pembiayaan. Ini menujukan pos anggaran pendidikan yang semakin bertambah dan menyebar
dan terkesan mengada-ada. Sekedar mengklaim sebagai kategori anggaran
pendidikan, seperti pada komponen transfer daerah, pemerintah hanya bisa
memperkirakan bagian anggaran pendidikan yang diperkirakan dalam DBH, DAU dan
Dana Otonomi khusus. Karena faktanya, alokasi anggaran DBH, DAU dan Otsus di daerah
tidak bisa dikontrol kebenarannya dialokasikan untuk pendidikan. Sementara
hingga saat ini belum ada instrumen monitoring yang mampu
mengintegrasikan seluruh laporan sehingga dapat dengan mudah di ukur kontribusi
program di masing-masing K/L terhadap tujuan pendidikan nasional.[6]
[1] Mandala
Harefa, Kebijakan dan Pengelolaan Anggaran Pendidikan: Antara Keinginan dan
Keterbatasan, Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi,
Sekretariat Jenderal DPR RI, t.th.) hlm. 67
[2] Yuna Farhan,
“Keranjang Sampah Pendidikan dan Pemanis Anggaran Kemiskinan”, Press Release
Fitra, (Jakarta: Seknas Fitra, 2012) h.2
[3] Prosentase
yang ditulis dalam subbahasan ini adalah prosentase dari keseluruhan APBN
[4] UU APBN-P 2012
[5]
http://edukasi.kompas.com/read/2012/08/12/08222135/2013.Alokasi.Dana.Pendidikan.
Daerah.Rp.125.Triliun
[6] Yuna Farhan,
“Keranjang Sampah Pendidikan dan Pemanis Anggaran Kemiskinan”, Press Release
Fitra, (Jakarta: Seknas Fitra, 2012) h.2